Selama beberapa tahun terakhir ini, ada suara-suara untuk menjadikan
Islam sebagai ideologi negara, yaitu sebagai pengganti Pancasila. Menurut
pandangan penulis, hal itu terjadi akibat terjadi penyempitan pandangan
mengenai Pancasila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mereka
yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu jurusan belaka,
yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan lain yang menyatakan Pancasila
harus dipahami lebih longgar, dilarang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya
yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melainkan soal
pengertian Pancasila tersebut. Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang
benar tentang Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukannya kritik terhadap
pendekatan yang terasa monolit bagi rakyat itu.
Karena dalam pandangan mereka penafsiran pemerintah hanyalah satu dari
penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana yang benar, Mahkamah Agung (MA)
harus mengemukakan penafsiran legal berdasarkan Undang-undang (UU) yang ada.
Jadi, penafsiran yang tidak sejalan dengan pemerintah, belum tentu salah.
Penafsiran legal-lah yang
dijadikan ukuran, bukan penafsiran pemerintah.
Ketika yang dianggap benar hanyalah penafsiran kekuasaan dan MA takut
membuat penafsiran legal yang mengikat, maka masyarakat tidak memiliki pilihan
lain, kecuali mencarikan alternatif bagi Pancasila yang telah dikebiri itu.
Muncullah Islam sebagai alternatif penafsiran, bukannya alternatif ideologis.
Namun, karena kurangnya kecanggihan, maka Islam dikemukakan sebagai alternatif
ideologis bagi Pancasila, bukannya terbatas pada masalah penafsiran saja. Dalam
bahasa teori hukum Islam (ushûl fiqh), hal itu dinamai penyebutan yang mutlak
umum, dengan maksud yang mutlak khusus (yuthlaqu al-‘âm wa yurâdu bihi
al-khâsh).[1]
Hal itu perlu dinyatakan di sini, karena akhir-akhir ini muncul
anggapan, bahwa sesuatu yang berdasarkan Islam sangat berbahaya bagi negara kita.
Ini antara lain dikemukakan Lee Kuan Yew, Menteri Senior Republik Singapura, yang
menyatakan bahwa dalam satu dua generasi lagi Indonesia akan diperintah oleh
teroris yang menggunakan Islam. Ini tentu dapat dibaca sebagai undangan bagi
Amerika Serikat, untuk menduduki Indonesia dan membagi-baginya ke dalam beberapa
negara.
Tentu saja, penulis boleh beranggapan bahwa hal itu dikemukakan karena
Lee Kuan Yew takut dengan Indonesia yang kuat dan besar serta tidak dapat “disogok”.
Itu akan sangat berbahaya bagi Singapura, karena itu Indonesia harus
dibagi-bagi ke dalam beberapa republik.
Namun, asumsi di balik pernyataan “Islam akan tumbuh di negeri ini
sebagai alternatif Pancasila,” adalah sesuatu yang banyak dipakai orang. Karena
itu, kita harus memahami Islam pada fungsi sebagai penafsir, dengan demikian ia
tidak dapat menjadi ideologi negara yang plural dan majemuk ini. Dalam hal ini,
Islam memiliki fungsi yang sama dengan nasionalisme, sosialisme dan
pandangan-pandangan lain di dunia ini. Inilah yang merupakan pembedaan antara
Pancasila sebagai ideologi negara yang berwatak pluralistik, dari berbagai
ideologi masyarakat yang berkembang di negeri ini, seperti Islam, nasionalisme,
sosialisme,
dan
lain-lain.
Jelaslah,
dengan uraian di atas, bahwa penghadapan Islam kepada Pancasila adalah sesuatu
yang tidak dapat dibenarkan, karena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum
kepada pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan, berarti rasionalitas
telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengendalikan pandangan hidup kita.
Tentu kita lebih mementingkan sesuatu yang rasional, bila dibandingkan dengan
sesuatu yang emosional. Sebagai bangsa, tentu kita hanya mempunyai sebuah
ideologi negara, tetapi dengan penafsiran kemasyarakatan yang berbeda- beda.
Dengan demikian, yang diberlakukan secara formal adalah penafsiran legal yang dilakukan
oleh MA. Inilah yang harus kita bangun ke depan, dan untuk itu diperlukan keberanian
moral untuk berhadapan dengan negara, atau dengan kata lain menghadapi sistem kekuasaan.
Kalau ini dilupakan, sudah tentu kita tidak tahu apa yang menjadi tugas kita di
masa depan. Pembedaan antara ideologi di satu sisi dan penafsiran atasnya,
menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan kita di masa depan.
Beberapa minggu sebelum dilengserkan dari jabatan Presiden, penulis mengusulkan
pada sebuah sidang kabinet agar dibuat ketentuan bahwa keputusan bertentangan atau
tidaknya seluruh peraturan daerah (perda) berdasarkan Syari’ah Islâmiyah yang dibuat DPRD di semua tingkatan di Indonesia dengan
Undang-Undang Dasar (UUD), harus dilakukan secara legal oleh MA. Inilah mengapa
sebabnya MA harus kuat dan berani, serta berkedudukan sama tinggi dengan badan
legislatif maupun eksekutif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar