Selasa, 01 November 2016

Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Kebudayaan Islam


Islam dalam Universalnya, mencakup segala aspek kehidupan  seperti hukum Islam, keimanan/kepercayaan, dan tingkah laku. Yang saat ini masyarakat hanya memandang poin tingkah laku saja yang penting bagi mereka, karena itu menjadi hal yang paling sering dihadapi oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Universalisme Islam yang menjamin kehidupan seorang manusia terkhusus seorang muslim yang mampu  membuat kedamaian dan   keadilan dalam kehidupan, ada 5 jaminan dasar yang diberikan oleh Islam, yakni :
1) Hifdzu An-Nafs, Keselamatan Fisik dari kejahatan Badani.
2) Hifdzu Ad-Din, Keselamatan Keyakinan atas apa yang di anut.
3) Hifdzu An-Nasl, Keselamatan Keluarga dan Keturunanya.
4) Hifdzu Al- Mal, Keselamatan Harta Benda milik pribadi.
5) Hifdzu Al-Aqli, Keselamatan Hak milik dan Profesinya.
Yang mana kesemuananya merupakan jaminan keselamatan apabila mampu diterapkan di sebuah wilayah/negara mampu mencapai keadilan sejahtera.
Secara garis besar, kosmoplitanisme peradaban islma mampu menumbuhkan kreatifitas-kreatifitas seorang muslim, kebebasan berpendapat, dalam dialog Ekletik,yang mampu mengoreksi budaya-budaya seorang muslimkala itu. Hingga memunculkan para intelektual muslim, dan mucullah kala itu Mujtahid-mujtahid yang di bidang hukum Islam (fiqh) hingga muncul sebuah ilmu yang bernama Usul Fiqh sebagai teori hukum Islam, sehingga para penganut fiqh menggunakannya sebagai alat seleksi yang sangat normatif, yang mematikan krearifitas orang muslim setelahnya.
Dewasa ini kaum muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dari sebuah peradaban umat manusia, dan mungkin seorang muslim hanya akan menjadi sebuah objek peradaban, bukan sebagai subjeknya.
Bahkan jika kita merujuk tentang sebuah pertanyaan apakah Islam memiliki konsep bagi sebuah negara, maka disini penulis menjawab tidak, seperti contoh estafet kepemimpinan Rasulullah SAW. yang saat digantikan oleh Sayyidina Abu Bakar 3 hari setelah wafatnya Rasulullah, yang pengangkatanya rakyat madinah kala itu tidak mengetahui alasan penunjukan Sayyidina Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah SAW. ini menunjukkan bahwa Islam tidak memiliki konsep untuk diterapkan di negara kala itu, yang kemudian cara itu dipakai oleh kholifah-kholifah selanjutnya. Menunjukkan bahwa kreatifitas dalam pemikiran sebuah konsep Islam itu hilang.
Apabila kita manifestasikan di Indonesia konsep Islam tidak mapu di masukkan kedalam ideologi Indonesia, karena indonesia sudah dengan ideologi satu, yakni pancasila. Terdengar dibeberapa tahun terakhir bahwa ideologi indeonesia akan di rubah dengan Islam sebagai penggantinya, namun sebenarnya ini merupakan hal pemahaman terhadap pancasila itu sendiri, pancasila yang di pahamis hanya tekstual saja akan memunculkan pandangan-pandangan lain yang dirasa mampu untuk menggantikannya. Padahal apabila dipahami secara luas, pancasila mengandung banyak gal yang bahkan Islam tercakup di dalamnya.
Yang pada dasarnya pancasila adalah sebuah gambaran identisas orang Indonesia. Dalam idealisasi nila-nilai luhur di Indonesia mampu memberikan gambaran kepada dunia bahwa indonesia menjadi bangsa pecinta perdamaian, sopan kepada orang lain dan sabar tetapi tekun dalam membangun masyarakat yang adil bagi masadepan. Semua nilai itu kini menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi filsafat negara pancasila melalui penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila).
Adanya percampuran antara nilai-nilai keIslaman yang di pupuk dengan rasa nasionalisme yang kemudian terlihat kekaburan tentang apa yang merupakan nilai-nilai yang membentuk karakteristik bangsa ini. Perubahan sosial yang selalu masih dalam perncarian tanpa memutuskan ikatan dengan masa lampau. Nilai-nilai yang menampilkan watak kosmopolitan, yang masih diimbangi oleh rasa keagamaan yang kuat, kesediaan untuk mencoba gagasan pengaturan kembali masyarakat (social engineering) berlingkup luas, demi mempertahankan keutuhan diri di masa perubahan yang berlangsung secara cepat dan dihadapan tantangan dramatis terhadap keberadaan mereka sendiri.
Yang terjadi saat ini saat agama seperti demokrasi yang membuat semua derajat sama di pandangan, memiliki kesetaraan dan kebebasan dalam capaian kehidupan yang adil demi pencapaian kedamaian dalam hidup itu sendiri, demokrasi menyamakan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang hal apapun sebagai pembeda, seperti agama yang sama derajatnya di mata Tuhan YME.
Agama dapat memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi, manakala ia sendiri berwatak membebaskan. Fungsi pembebasan agama atas kehidupan masyarakat itu tidak dapat dilakukan setengah-setengah karena pada hakekatnya, transformasi kehidupan haruslah bersifat tuntas, dan demikian hubungan antara agama dan demokrasi tidak sesederhana yang kita duga semua karena di dalamnya masih ada hal-hal yang dilematik yang menjadi daerah kelabu yang tidak jelas hitam putihnya.
Seperti halnya hubungan antara agama dan kebudayaan yang sampai saat ini masih dalam status dilema di mana ada agama yang belum seutuhnya mampu mentransformasikan diri ke dalam sebuah kebudayaan, yang kemudian itu dianggap hal yang normal dan biasa.
Dalam beberapa tantangan kebudayaan yang ada di indonesia menyebabkan ketegangan sosial yang menyebabkan pro-kontra di masyarakat, yang memegang teguh kebudayaan, dan yang mampu faham pada titik keagamaan.

Yang penting bagi kita adalah mencari jalan tengah kala menghadapi ketegangan sosial antara agama dan kebudayaan. Bahkan ketegangan yang terjadi di masyarakat yang memegang teguh budaya dan yang sudah mulai memegang teguh agama tidak selalu menjadi hal yang di tangisi dan disesali, karena justru dapat memberikan peluang-peluang bagi kita untuk selalu berusaha menjembataninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar